Minggu, 31 Juli 2011

LAPORAN FAJAR

Mari kita bicara tentang sejarah Fajar. Surat kabar harian terbesar di luar pulau Jawa dan pemimpin pasar di Indonesia Timur. Surat kabar berumur 29 tahun dan berpusat di Makassar ini juga merupakan induk dari banyak telur: Ujung Pandang Ekspres, Berita Kota Makassar, Timor Ekspres, Ambon Ekspress, Kendari Ekspres, Kendari Pos, Radar Buton, Radar Bone, Radar Sulbar, Palopo Pos, Pare Pos, Radar Bulukumba, dan lainnya.
Saat itu, riuh aksi para mahasiswa angkatan 1966. Di bawah organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), mereka menentang kesewenang-wenangan pemerintah yang berkuasa. Sebagai wadah bersuara, aktifis KAMI menerbitkan surat kabar harian KAMI. Untuk wilayah Sulawesi Selatan, KAMI dikomandoi oleh Alwi Hamu, mahasiswa teknik yang saat itu juga menjabat sebagai Sekertaris Jenderal KAMI wilayah Sulawesi Selatan.
Bermodalkan pinjaman dari ayahnya, Haji Muhammad Syata, Alwi mengelola KAMI di jalan Laiya Makassar. Dibantu beberapa teman, dia men-setting isi dan tampilan KAMI. Setelah jadi, hasil setting-nya dibawa dengan berkendaraan becak ke Percetakan Makassar untuk dicetak. Surat kabar ini, bersama banyak surat kabar lainnya di seluruh Indonesia, dibredel ramai-ramai pemerintah pada 1970.
Majalah Intim dan Surat Kabar Tegas
Setelah KAMI mati, jiwa jurnalistik Alwi tidak ikut mati, tetap menggelora. Pada 1972, bersama Mattulada, Rahman Arge, Husni Djamaluddin, dan Arsal Alhabsi, dia mendirikan majalah Intim yang dibiayainya sendiri.
Pada 1978, Alwi diajak Syamsuddin D. L. bergabung dengan surat kabar Tegas dengan jabatan Wakil Pemimpin Umum. Dia kemudian membeli mesin cetak untuk mendukung penerbitan Tegas. Karena ketidaksepahaman dengan manajemen, dia memilih mundur meskipun telah banyak mengorbankan modal pribadinya.
Terbitlah Fajar
Sekeluar dari Tegas, Alwi berpikir untuk mendirikan surat kabar sendiri. Bersama Harun Rasyid Djibe dan Sinansari Ecip, dia menerbitkan Fajar. Surat izin dengan susah payah diraih dari Departemen Penerangan yang dipimpin Harmoko.



Kantor Ahmad Yani



Pertama beroperasi pada 1981, Fajar mengontrak kantor di jalan Ahmad Yani nomor 15 Makassar, tepatnya di gedung kantor bekas percetakan dan toko buku Druckey milik Belanda yang kemudian dinasionalisasi menjadi percetakan Bhakti. Kantor Ahmad Yani sangat sederhana. Saking sederhananya, WC-nya pun tidak ada.





Selanjutnya, seiring perkembangan keredaksian, berdatanganlah wartawan-wartawan lain: Baso Amir, Ismantoro, Rudy Harahap, Burhanuddin Bella, Ridwan Effendy, dan lainnya. Ketika itu, mereka masih bekerja tanpa memikirkan gaji yang diterima. Maklumlah, mereka semua masih berstatus mahasiswa yang hidup ditanggung orang tua. Mereka juga berpikir: Fajar adalah tempat belajar.



Reposisi dan Masa Sulit



Dalam perjalanannya, Harun Rasyid Djibe mengundurkan diri, begitu juga Sinansari Ecip yang hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah S3. Selanjutnya, Alwi mengajak dua sahabatnya: Jusuf Kalla dan Aksa Mahmud. Operasional Fajar kemudian diuntungkan dengan dipercayainya Jusuf Kalla sebagai pengelola Percetakan Makassar milik Pemerintah Daerah Makassar. Oleh Jusuf, percetakan tersebut kemudian diserahkan kepada Alwi untuk dikelola dan dikembangkan.



Hingga 1988, Fajar masih dalam masa sulit, rugi terus. Apalagi saat itu terdapat surat kabar besar yang menguasai pasar: Pedoman Rakyat. Bahkan, Jusuf Kalla, yang saat itu juga sedang mengembangkan NV Hadji Kalla, sering mengeluh karena sudah banyak modal yang dia investasikan untuk mengembangkan Fajar, tapi Fajar tetap merugi.





Kerja Sama Dengan Jawa Pos Grup




Langkah strategis diambil pada akhir tahun 1988: Fajar bergabung dengan Jawa Pos Grup yang dipimpin Dahlan Iskan. Saat itu, Dahlan memang ingin membuka surat kabar di Makassar. Dahlan bertemu Alwi lewat perantara Sinansari Ecip dan Eric Samola.



Kerja sama ini mengangkat semangat kerja para awak Fajar. Perbaikan dan perubahan dilakukan di semua lini: administrasi, keuangan, dan redaksi. Komputer PC sederhana tipe XT pun diadakan untuk semua meja wartawan. Tujuannya: mempercepat proses pekerjaan. Para wartawan juga diberi kesempatan secara bergilir untuk magang di Jawa Pos.



Walaupun kerja sama dengan Jawa Pos berjalan progresif. Namun kesejahteraan karyawan belum diperhatikan. Dampaknya, banyak wartawan potensial yang memilih mengundurkan diri meskipun telah banyak mendapat ilmu dari Fajar, semisal Abun Sanda yang hijrah ke Kompas (saat ini sudah menjabat Wakil Pemimpin Umum Kompas). Banyak pula calon wartawan potensial yang menolak masuk ke Fajar karena persoalan kesejahteraan.





Kantor Racing Centre




Kerja sama dengan Jawa Pos membuat oplah Fajar meningkat secara perlahan tapi pasti, begitu juga iklannya, mulai mengalir deras. Peningkatan ini membuat niat untuk pindah kantor muncul. Apalagi kantor Ahmad Yani dirasakan sudah tidak bisa lagi mendukung perkembangan Fajar. Dan memang Pemerintah Daerah Makassar sudah mau menjual gedung itu.



Pilihan lokasi gedung kantor baru jatuh di tanah milik Jusuf Kalla di jalan Racing Centre Makassar. Uang hasil oplah dan iklan dikumpulkan untuk membangun gedung di atas tanah itu, tanpa bantuan kredit bank. Hasilnya, pada 1991, gedung kantor Racing Centre diresmikan. Gedung mewah 3 lantai dengan halaman yang cukup luas.



Mesin cetak baru juga diadakan untuk menambah kualitas surat kabar. Fajar tampil berwarna. Oplah dan iklannya pun semakin bersinar. Fajar kemudian berkembang pesat menjadi pemimpin utama pasar menyingkirkan Pedoman Rakyat yang bangkrut. Kesejahteraan karyawan juga ikut meningkat.



Surat kabar-surat kabar dalam dan luar daerah Makassar mulai dikembangkan: Ujung Pandang Ekspres, Berita Kota Makassar, pare pos, palopo pos, kendari pos, dan lainnya. Televisi dan radio juga didirikan meskipun sinarnya tidak sekilau surat kabar. Fajar juga mengembangkan sayap ke bisnis nonmedia: universitas, agrobisnis, transportasi, dan lainnya.



Kantor Racing Centre menjadi saksi bagaimana Fajar selama kurun waktu 16 tahun (1991-2007) merangkak naik menjadi yang terbesar di luar pulau Jawa dan pemimpin pasar di Indonesia Timur. Posisi tertinggi dalam level bisnis surat kabar.



Kantor Graha Pena



Trend bisnis yang semakin berkembang, anak perusahaan yang semakin menjamur, dan jumlah karyawan yang semakin banyak membuat keadaan kantor Racing Centre dirasakan sudah tidak mampu lagi mengakomodasi semuanya. Rencana membangun kantor yang lebih besar pun dicetuskan.



Mengadopsi model kantor milik Jawa Pos Group, Fajar membangun gedung kantor Graha Pena di jalan Urip Sumoharjo nomor 20 Makassar. Diresmikan pada awal 2008, gedung Graha Pena dengan 20 lantai menjadi gedung tertinggi pertama di luar pulau Jawa. Fungsinya bukan hanya sebagai kantor bagi Fajar dan anak perusahaannya, tapi juga dipersewakan kepada khayalak umum untuk ruang kantor maupun untuk pelbagai kegiatan. Kantor Racing Centre kemudian menjadi Universitas Fajar.





Fajar Digital



Perkembangan internet yang pesat menyebabkan Fajar sebagai surat kabar terimbas trennya: membuat surat kabar digital, surat kabar melalui website di internet. Pada 2009, diterbitkan fajar.co.id. Fajar pun bisa dinikmati dan diakses bebas melalui internet.



Fajar: Sekarang dan Masa Depan




Dalam siklus bisnis, Fajar sekarang berada dalam posisi teratas. Misinya sekarang sederhana saja: mempertahankan posisi untuk tetap menjadi yang teratas. Tantangan yang berat, mengingat surat kabar pesaing mulai bermunculan dan berkembang: Seputar Indonesia, Tribun Timur, dan Koran Tempo.



Mulai sekarang, Fajar harus melakukan kaderisasi yang baik, terlebih Alwi Hamu dan Syamsu Nur sebagai pemimpin Fajar sudah semakin renta dimakan usia. Pengalaman Pedoman Rakyat yang mati karena buruknya kaderisasi bisa menjadi cermin untuk tidak mengalami hal yang sama.[]



Sumber:



“Di Timur…Fajar” oleh Rahman Arge.



“Dari SKU KAMI ke Fajar” oleh Prof. Dr. H. Halide.



“Koran Memerlukan Teknik dan Sikap - Modal Awal Harian Fajar adalah Wartawan Culun” oleh Dr. Sinansari Ecip.



“Fajar Redup di Ahmad Yani Menyingsing di Racing Centre” oleh H. Syamsu Nur.



“Siklus Ketiga Fajar” oleh Dahlan Iskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar