Minggu, 31 Juli 2011

LAPORAN LAPAN

Kronologi Pembentukan LAPAN

Pada tanggal 31 Mei 1962, dibentuk Panitia Astronautika oleh Menteri Pertama RI, Ir. Juanda (selaku Ketua Dewan Penerbangan RI) dan R.J. Salatun (selaku Sekretaris Dewan Penerbangan RI).

Tanggal 22 September 1962, terbentuknya Proyek Roket Ilmiah dan Militer Awal (PRIMA) afiliasi AURI dan ITB. Berhasil membuat dan meluncurkan dua roket seri Kartika berikut telemetrinya.

Tanggal 27 November 1963, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 236 Tahun 1963 tentang LAPAN.


Penyempurnaan organisasi LAPAN melalui :

Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 18 Tahun 1974,
Keppres Nomor 33 Tahun 1988,
Keppres Nomor 33 Tahun 1988 jo Keppres Nomor 24 Tahun 1994,
Keppres Nomor 132 Tahun 1998,
Keppres Nomor 166 Tahun 2000 sebagaimana diubah beberapa kali yang terakhir dengan Keppres Nomor 62 Tahun 2001,
Keppres Nomor 178 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah beberapa kali yang terakhir dengan Keppres 60 Tahun 2001,
Keppres Nomor 103 Tahun 2001.


Lingkup Kegiatan

Pengembangan teknologi dan pemanfaatan penginderaan jauh.
Pemanfaatan sains atmosfer, iklim dan antariksa.
Pengembangan teknologi dirgantara.
Pengembangan kebijakan kedirgantaraan nasional.

LAPORAN RRI

Sejarah RRI (Dari Berbagai Sumber)
Radio Republik Indonesia, secara resmi didirikan pada tanggal 11 September 1945, oleh para tokoh yang sebelumnya aktif mengoperasikan beberapa stasiun radio Jepang di 6 kota. Rapat utusan 6 radio di rumah Adang Kadarusman Jalan Menteng Dalam Jakarta menghasilkan keputusan mendirikan Radio Republik Indonesia dengan memilih Dokter Abdulrahman Saleh sebagai pemimpin umum RRI yang pertama.

Rapat tersebut juga menghasilkan suatu deklarasi yang terkenal dengan sebutan Piagam 11 September 1945, yang berisi 3 butir komitmen tugas dan fungsi RRI yang kemudian dikenal dengan Tri Prasetya RRI. Butir Tri Prasetya yang ketiga merefleksikan komitmen RRI untuk bersikap netral tidak memihak kepada salah satu aliran / keyakinan partai atau golongan. Hal ini memberikan dorongan serta semangat kepada broadcaster RRI pada era Reformasi untuk menjadikan RRI sebagai lembaga penyiaran publik yang independen, netral dan mandiri serta senantiasa berorientasi kepada kepentingan masyarakat.

Likuidasi Departemen Penerangan oleh Pemerintah Presiden Abdurahman Wahid dijadikan momentum dari sebuah proses perubahan Government Owned Radio ke arah Public Service Boradcasting dengan didasari Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2000 yang ditandatangani Presiden RI tanggal 7 Juni 2000. Pembenahan organisasi dan manajemen dilakukan seiring dengan upaya penyamaan visi (shared vision) dikalangan pegawai RRI yang berjumlah sekitar 8500 orang yang semula berorientasi sebagai pemerintah yang melaksanakan tugas-tugas yang cenderung birokratis.

Dewasa ini RRI mempunyai 52 stasiun penyiaran dan stasiun penyiaran khusus yang ditujukan ke Luar Negeri, "Suara Indonesia". Kecuali di Jakarta, RRI di daerah hampir seluruhnya menyelenggarakan siaran dalam 3 program yaitu Programa Daerah yang melayani segmen masyarakat yang luas sampai pedesaan, Programa Kota (Pro II) yang melayani masyarakat di perkotaan dan Programa III (Pro III) yang menyajikan Berita dan Informasi (News Chanel) kepada masyarakat luas. Di Stasiun Cabang Utama Jakarta terdapat 6 programa yaitu Programa I untuk pendengar di Propinsi DKI Jakarta Usia Dewasa, Programa II untuk segment pendengar remaja dan pemuda di Jakarta, Programa III khusus berita dan informasi, Programa IV kebudayaan, Programa V untuk saluran pendidikan dan Programa VI Musik Klasik dan Bahasa Asing. Sedangkan "Suara Indonesia" (Voice of Indonesia) menyelenggarakan siarannya sendiri.Adalah Jusuf Ronodipuro yang menjadi pegawai Hoso Kyoku yang memberi tahu kepada Dr Abdulrachman Saleh bahwa terhitung tanggal 18 Agustus 1945, radio penyiaran Jepang itu sudah tidak mengudara lagi. Tanpa direncanakan sebelumnya, tiba-tiba saja timbul niat Pak “Karbol” (nama julukan Abdulrachman Saleh) membuat radio pemancar sendiri yang akan ditempatkan dibagian Faal Sekolah Tabib Tinggi Jakarta (kemudian menjadi FKUI). Ahirnya kedua orang perintis Radio Republik Indonesia ini berhasil mengudarakan “The Voice of Free Indonesia pada tgl, 22 Agustus 1945. Pada tgl 11 September 1945 malam hari, bertempat dirumah Adang Kadarisman, Pak Karbol memimpin rapat yang menandai berdirinya Radio Republik Indonesia. Saat itu ditetapkan Tri Prasetya RRI dan semboyan : “Sekali Diudara Tetap di Udara”. Peserta rapat terdiri dari utusan daerah ex stasiunpenyiaran Jepang. Dan Pak Karbol terpilih sebagai ketua. Belakangan oleh pemerintah berhasil dikuasai kembali gedung ex Hoso Kyoku dan difungsikan menjadi gedung stasiun penyiaran RRI Jakarta. Stasiun ini megudara terus sampai terjadinya “Agresi Militer Belanda pertama” tanggal 21 Juli 1947. Sejak itu para pimpinan stasiun siaran Jakarta termasuk Jusuf Ronodipuro ditangkap Belanda. Gedung dan perangkat siarannya masih berfungsi tapi dipergunakan sebagai siaran Radio Nica Belanda. Sebagai siaran Nasional, RRI mengudara dari Yogyakarta dan sejumlah stasiun lainnya yang masih berada dibawah wilayah kekuasaan Republik Indonesia. (Disarikan dari berbagai sumber tulisan)

SEJARAH RADIO REPUBLIK INDONESIA

Radio Republik Indonesia (RRI) adalah Lembaga Penyiaran Publik Milik Bangsa. Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Penyiaran, RRi saat ini berstatus Lembaga Penyiaran Publik. Pasal 14 Undang Undang Nomer 32/2002 menegaskan bahwa RRI adalah Lembaga Penyiaran Publik yang bersifat independen, netral, tidak komersil dan berfungsi melayani kebutuhan masyarakat. Sebagai Lembaga Penyiaran Publik, Rri terdiri dari Dewan Pengawas dan Dewan Direksi. Dewan Pengawas yang berjumlah 5 orang terdiri dari unsur publik, pemerintah, dan RRI. Dewan Pengawas yang merupakan wujud representasi dan supervisi publik memilih Dewan Direksi yang berjumlah 5 orang yang bertugas melaksanakan kebijakan penyiaran dan bertanggung jawab atas penyelenggaraan penyiaran. Status sebagai Lembaga Penyiaran Publik juga ditugaskan melalui Peraturan Pemerintah Nomer 11 dan 12 tahun 2005 yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Undang Undang Nomer 32/2002. Sebelum menjadi Lembaga Penyiaran Publik selama hampir 5 tahun sejak tahun 2002, RRI berstatus sebagai Perusahaan Jawatan (Perjan) yaitu badan usaha milik negara (BUMN) yang tidak mencari untung.

Dalam status perusahaan jawatan, RRI telah menjalankan prinsip-prinsip radio publik yang independen. Perusahaan jawatan dapat dikatakan sebagai status transisi dari Lembaga Penyiaran Publik menuju Lembaga Penyiaran Publik pada masa reformasi. Perubahan RRI menjadi Lembaga Penyiaraan Publik telah melampaui proses yang cukup panjang seiring semangat demokratisasi media yang berjalan seiring montentum reformasi. Sebelumnya, RRI adalah lembaga penyiaran pemerintah yang merupakan unit kerja Departemen Penerangan.

Fungsi RRI sebagai sebagai lembaga penyiaran publik tidak hanya memberikan informasi yang aktual, tepat dann terpercaya, namun juga memberikan nilai-nilai edukatif seperti memberikan porsi pada siaran pendidikan, baik secara instruksional seperti siaran SLTP, SMU

LAPORAN TVRI

Televisi Republik Indonesia

Televisi Republik Indonesia (TVRI) adalah stasiun televisi pertama di Indonesia, yang mengudara pada tanggal 23 Agustus 1962[1]. Siaran perdananya menayangkan Upacara Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-17 dari Istana Negara Jakarta. Siarannya ini masih berupa hitam putih. TVRI kemudian meliput Asian Games yang diselenggarakan di Jakarta.

Dahulu TVRI pernah menayangkan iklan dalam satu tayangan khusus yang dengan judul acara Mana Suka Siaran Niaga (sehari dua kali). Pada tahun 80-an dan 90-an TVRI tidak diperbolehkan menayangkan iklan nayang iklannya hanya di jakarta timur, dan akhirnya TVRI kembali menayangkan iklan. Status TVRI saat ini adalah Lembaga Penyiaran Publik. Sebagian biaya operasional TVRI masih ditanggung oleh negara.

TVRI memonopoli siaran televisi di Indonesia sebelum tahun 1989 ketika didirikan televisi swasta pertama RCTI di Jakarta, dan SCTV pada tahun 1990 di Surabaya.

SEJARAH
Latar belakang

* Pada tahun 1961, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk memasukkan proyek media massa televisi ke dalam proyek pembangunan Asian Games IV di bawah koordinasi urusan proyek Asian Games IV.
* Pada tanggal 25 Juli 1961, Menteri Penerangan mengeluarkan SK Menpen No. 20/SK/M/1961 tentang pembentukan Panitia Persiapan Televisi (P2T).
* Pada 23 Oktober 1961, Presiden Soekarno yang sedang berada di Wina mengirimkan teleks kepada Menteri Penerangan saat itu, Maladi untuk segera menyiapkan proyek televisi (saat itu waktu persiapan hanya tinggal 10 bulan) dengan jadwal sebagai berikut:

1. Membangun studio di eks AKPEN di Senayan (TVRI sekarang).
2. Membangun dua pemancar: 100 watt dan 10 Kw dengan tower 80 meter.
3. Mempersiapkan software (program dan tenaga).

* Pada tanggal 17 Agustus 1962, TVRI mulai mengadakan siaran percobaan dengan acara HUT Proklamasi Kemerdekaan Indonesia XVII dari halaman Istana Merdeka Jakarta, dengan pemancar cadangan berkekuatan 100 watt. Kemudian pada 24 Agustus 1962, TVRI mengudara untuk pertama kalinya dengan acara siaran langsung upacara pembukaan Asian Games IV dari stadion utama Gelora Bung Karno.
* Pada tanggal 20 Oktober 1963, dikeluarkan Keppres No. 215/1963 tentang pembentukan Yayasan TVRI dengan Pimpinan Umum Presiden RI.
* Pada tahun 1964 mulailah dirintis pembangunan Stasiun Penyiaran Daerah dimulai dengan TVRI Stasiun Yogyakarta, yang secara berturut-turut diikuti dengan Stasiun Medan, Surabaya, Makassar, Manado, Denpasar, dan Balikpapan.

[sunting] Pembangunan Stasiun Produksi Keliling

Mulai tahun 1977, secara bertahap di beberapa ibu kota Provinsi dibentuklah Stasiun-stasiun Produksi Keliling atau SPK, yang berfungsi sebagai perwakilan atau koresponden TVRI di daerah, yang terdiri dari:

1. SPK Jayapura
2. SPK Ambon
3. SPK Kupang
4. SPK Malang (Tahun 1982 diintegrasikan dengan TVRI Stasiun Surabaya)
5. SPK Semarang
6. SPK Bandung
7. SPK Banjarmasin
8. SPK Pontianak
9. SPK Banda Aceh
10. SPK Jambi
11. SPK Padang
12. SPK Lampung

[sunting] TVRI pada Era Orde Baru

Tahun 1974, TVRI diubah menjadi salah satu bagian dari organisasi dan tatakerja Departemen Penerangan, yang diberi status Direktorat, langsung bertanggung-jawab pada Direktur Jendral Radio, TV, dan Film, Departemen Penerangan Republik Indonesia.

Sebagai alat komunikasi Pemerintah, tugas TVRI adalah menyampaikan informasi tentang kebijakan Pemerintah kepada rakyat dan pada waktu yang bersamaan menciptakan two-way traffic (lalu lintas dua jalur) dari rakyat untuk pemerintah selama tidak mendiskreditkan usaha-usaha Pemerintah.

Pada garis besarnya tujuan kebijakan Pemerintah dan program-programnya adalah untuk membangun bangsa dan negara Indonesia yang modern dengan masyarakat yang aman, adil, tertib dan sejahtera, yang bertujuan supaya tiap warga Indonesia mengenyam kesejahteraan lahiriah dan mental spiritual. Semua kebijaksanaan Pemerintah beserta programnya harus dapat diterjemahkan melalui siaran-siaran dari studio-studio TVRI yang berkedudukan di ibukota maupun daerah dengan cepat, tepat dan baik.

Semua pelaksanaan TVRI baik di ibu kota maupun di Daerah harus meletakkan tekanan kerjanya kepada integrasi, supaya TVRI menjadi suatu well-integrated mass media (media massa yang terintegrasikan dengan baik) Pemerintah.

Tahun 1975, dikeluarkan SK Menpen No. 55 Bahan siaran/KEP/Menpen/1975, TVRI memiliki status ganda yaitu selain sebagai Yayasan Televisi RI juga sebagai Direktorat Televisi, sedang manajemen yang diterapkan yaitu manajemen perkantoran/birokrasi.
[sunting] TVRI pada Era Reformasi

Bulan Juni 2000, diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 36 tahun 2000 tentang perubahan status TVRI menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan), yang secara kelembagaan berada di bawah pembinaan dan bertanggung jawab kepada Departemen Keuangan RI.

Bulan Oktober 2001, diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 64 tahun 2001 tentang pembinaan Perjan TVRI di bawah kantor Menteri Negara BUMN untuk urusan organisasi dan Departemen Keuangan Republik Indonesia|Departemen Keuangan RI untuk urusan keuangan.

Tanggal 17 April 2002, diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 2002, status TVRI diubah menjadi Perseroan Terbatas (PT) TVRI di bawah pengawasan Departemen Keuangan RI dan Kantor Menteri Negara BUMN.

Selanjutnya melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, TVRI ditetapkan sebagai Lembaga Penyiaran Publik yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara. Semangat yang mendasari lahirnya TVRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik adalah untuk melayani informasi untuk kepentingan publik, bersifat netral, mandiri dan tidak komersial. Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2005 menetapkan bahwa tugas TVRI adalah memberikan pelayanan informasi, pendidikan dan hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, serta melestarikan budaya bangsa untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat melalui penyelenggaraan penyiaran televisi yang menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Televisi Republik Indonesia (TVRI) merupakan stasiun televisi tertua di Indonesia dan satu-satunya televisi yang jangkauannya mencapai seluruh wilayah Indonesia dengan jumlah penonton sekitar 82 persen penduduk Indonesia. Saat ini TVRI memiliki 27 stasiun Daerah dan 1 Stasiun Pusat dengan didukung oleh 376 satuan transmisi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

LAPORAN FAJAR

Mari kita bicara tentang sejarah Fajar. Surat kabar harian terbesar di luar pulau Jawa dan pemimpin pasar di Indonesia Timur. Surat kabar berumur 29 tahun dan berpusat di Makassar ini juga merupakan induk dari banyak telur: Ujung Pandang Ekspres, Berita Kota Makassar, Timor Ekspres, Ambon Ekspress, Kendari Ekspres, Kendari Pos, Radar Buton, Radar Bone, Radar Sulbar, Palopo Pos, Pare Pos, Radar Bulukumba, dan lainnya.
Saat itu, riuh aksi para mahasiswa angkatan 1966. Di bawah organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), mereka menentang kesewenang-wenangan pemerintah yang berkuasa. Sebagai wadah bersuara, aktifis KAMI menerbitkan surat kabar harian KAMI. Untuk wilayah Sulawesi Selatan, KAMI dikomandoi oleh Alwi Hamu, mahasiswa teknik yang saat itu juga menjabat sebagai Sekertaris Jenderal KAMI wilayah Sulawesi Selatan.
Bermodalkan pinjaman dari ayahnya, Haji Muhammad Syata, Alwi mengelola KAMI di jalan Laiya Makassar. Dibantu beberapa teman, dia men-setting isi dan tampilan KAMI. Setelah jadi, hasil setting-nya dibawa dengan berkendaraan becak ke Percetakan Makassar untuk dicetak. Surat kabar ini, bersama banyak surat kabar lainnya di seluruh Indonesia, dibredel ramai-ramai pemerintah pada 1970.
Majalah Intim dan Surat Kabar Tegas
Setelah KAMI mati, jiwa jurnalistik Alwi tidak ikut mati, tetap menggelora. Pada 1972, bersama Mattulada, Rahman Arge, Husni Djamaluddin, dan Arsal Alhabsi, dia mendirikan majalah Intim yang dibiayainya sendiri.
Pada 1978, Alwi diajak Syamsuddin D. L. bergabung dengan surat kabar Tegas dengan jabatan Wakil Pemimpin Umum. Dia kemudian membeli mesin cetak untuk mendukung penerbitan Tegas. Karena ketidaksepahaman dengan manajemen, dia memilih mundur meskipun telah banyak mengorbankan modal pribadinya.
Terbitlah Fajar
Sekeluar dari Tegas, Alwi berpikir untuk mendirikan surat kabar sendiri. Bersama Harun Rasyid Djibe dan Sinansari Ecip, dia menerbitkan Fajar. Surat izin dengan susah payah diraih dari Departemen Penerangan yang dipimpin Harmoko.



Kantor Ahmad Yani



Pertama beroperasi pada 1981, Fajar mengontrak kantor di jalan Ahmad Yani nomor 15 Makassar, tepatnya di gedung kantor bekas percetakan dan toko buku Druckey milik Belanda yang kemudian dinasionalisasi menjadi percetakan Bhakti. Kantor Ahmad Yani sangat sederhana. Saking sederhananya, WC-nya pun tidak ada.





Selanjutnya, seiring perkembangan keredaksian, berdatanganlah wartawan-wartawan lain: Baso Amir, Ismantoro, Rudy Harahap, Burhanuddin Bella, Ridwan Effendy, dan lainnya. Ketika itu, mereka masih bekerja tanpa memikirkan gaji yang diterima. Maklumlah, mereka semua masih berstatus mahasiswa yang hidup ditanggung orang tua. Mereka juga berpikir: Fajar adalah tempat belajar.



Reposisi dan Masa Sulit



Dalam perjalanannya, Harun Rasyid Djibe mengundurkan diri, begitu juga Sinansari Ecip yang hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah S3. Selanjutnya, Alwi mengajak dua sahabatnya: Jusuf Kalla dan Aksa Mahmud. Operasional Fajar kemudian diuntungkan dengan dipercayainya Jusuf Kalla sebagai pengelola Percetakan Makassar milik Pemerintah Daerah Makassar. Oleh Jusuf, percetakan tersebut kemudian diserahkan kepada Alwi untuk dikelola dan dikembangkan.



Hingga 1988, Fajar masih dalam masa sulit, rugi terus. Apalagi saat itu terdapat surat kabar besar yang menguasai pasar: Pedoman Rakyat. Bahkan, Jusuf Kalla, yang saat itu juga sedang mengembangkan NV Hadji Kalla, sering mengeluh karena sudah banyak modal yang dia investasikan untuk mengembangkan Fajar, tapi Fajar tetap merugi.





Kerja Sama Dengan Jawa Pos Grup




Langkah strategis diambil pada akhir tahun 1988: Fajar bergabung dengan Jawa Pos Grup yang dipimpin Dahlan Iskan. Saat itu, Dahlan memang ingin membuka surat kabar di Makassar. Dahlan bertemu Alwi lewat perantara Sinansari Ecip dan Eric Samola.



Kerja sama ini mengangkat semangat kerja para awak Fajar. Perbaikan dan perubahan dilakukan di semua lini: administrasi, keuangan, dan redaksi. Komputer PC sederhana tipe XT pun diadakan untuk semua meja wartawan. Tujuannya: mempercepat proses pekerjaan. Para wartawan juga diberi kesempatan secara bergilir untuk magang di Jawa Pos.



Walaupun kerja sama dengan Jawa Pos berjalan progresif. Namun kesejahteraan karyawan belum diperhatikan. Dampaknya, banyak wartawan potensial yang memilih mengundurkan diri meskipun telah banyak mendapat ilmu dari Fajar, semisal Abun Sanda yang hijrah ke Kompas (saat ini sudah menjabat Wakil Pemimpin Umum Kompas). Banyak pula calon wartawan potensial yang menolak masuk ke Fajar karena persoalan kesejahteraan.





Kantor Racing Centre




Kerja sama dengan Jawa Pos membuat oplah Fajar meningkat secara perlahan tapi pasti, begitu juga iklannya, mulai mengalir deras. Peningkatan ini membuat niat untuk pindah kantor muncul. Apalagi kantor Ahmad Yani dirasakan sudah tidak bisa lagi mendukung perkembangan Fajar. Dan memang Pemerintah Daerah Makassar sudah mau menjual gedung itu.



Pilihan lokasi gedung kantor baru jatuh di tanah milik Jusuf Kalla di jalan Racing Centre Makassar. Uang hasil oplah dan iklan dikumpulkan untuk membangun gedung di atas tanah itu, tanpa bantuan kredit bank. Hasilnya, pada 1991, gedung kantor Racing Centre diresmikan. Gedung mewah 3 lantai dengan halaman yang cukup luas.



Mesin cetak baru juga diadakan untuk menambah kualitas surat kabar. Fajar tampil berwarna. Oplah dan iklannya pun semakin bersinar. Fajar kemudian berkembang pesat menjadi pemimpin utama pasar menyingkirkan Pedoman Rakyat yang bangkrut. Kesejahteraan karyawan juga ikut meningkat.



Surat kabar-surat kabar dalam dan luar daerah Makassar mulai dikembangkan: Ujung Pandang Ekspres, Berita Kota Makassar, pare pos, palopo pos, kendari pos, dan lainnya. Televisi dan radio juga didirikan meskipun sinarnya tidak sekilau surat kabar. Fajar juga mengembangkan sayap ke bisnis nonmedia: universitas, agrobisnis, transportasi, dan lainnya.



Kantor Racing Centre menjadi saksi bagaimana Fajar selama kurun waktu 16 tahun (1991-2007) merangkak naik menjadi yang terbesar di luar pulau Jawa dan pemimpin pasar di Indonesia Timur. Posisi tertinggi dalam level bisnis surat kabar.



Kantor Graha Pena



Trend bisnis yang semakin berkembang, anak perusahaan yang semakin menjamur, dan jumlah karyawan yang semakin banyak membuat keadaan kantor Racing Centre dirasakan sudah tidak mampu lagi mengakomodasi semuanya. Rencana membangun kantor yang lebih besar pun dicetuskan.



Mengadopsi model kantor milik Jawa Pos Group, Fajar membangun gedung kantor Graha Pena di jalan Urip Sumoharjo nomor 20 Makassar. Diresmikan pada awal 2008, gedung Graha Pena dengan 20 lantai menjadi gedung tertinggi pertama di luar pulau Jawa. Fungsinya bukan hanya sebagai kantor bagi Fajar dan anak perusahaannya, tapi juga dipersewakan kepada khayalak umum untuk ruang kantor maupun untuk pelbagai kegiatan. Kantor Racing Centre kemudian menjadi Universitas Fajar.





Fajar Digital



Perkembangan internet yang pesat menyebabkan Fajar sebagai surat kabar terimbas trennya: membuat surat kabar digital, surat kabar melalui website di internet. Pada 2009, diterbitkan fajar.co.id. Fajar pun bisa dinikmati dan diakses bebas melalui internet.



Fajar: Sekarang dan Masa Depan




Dalam siklus bisnis, Fajar sekarang berada dalam posisi teratas. Misinya sekarang sederhana saja: mempertahankan posisi untuk tetap menjadi yang teratas. Tantangan yang berat, mengingat surat kabar pesaing mulai bermunculan dan berkembang: Seputar Indonesia, Tribun Timur, dan Koran Tempo.



Mulai sekarang, Fajar harus melakukan kaderisasi yang baik, terlebih Alwi Hamu dan Syamsu Nur sebagai pemimpin Fajar sudah semakin renta dimakan usia. Pengalaman Pedoman Rakyat yang mati karena buruknya kaderisasi bisa menjadi cermin untuk tidak mengalami hal yang sama.[]



Sumber:



“Di Timur…Fajar” oleh Rahman Arge.



“Dari SKU KAMI ke Fajar” oleh Prof. Dr. H. Halide.



“Koran Memerlukan Teknik dan Sikap - Modal Awal Harian Fajar adalah Wartawan Culun” oleh Dr. Sinansari Ecip.



“Fajar Redup di Ahmad Yani Menyingsing di Racing Centre” oleh H. Syamsu Nur.



“Siklus Ketiga Fajar” oleh Dahlan Iskan.